Lompat ke isi

Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan

Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan adalah sebuah komite pakar regional di Uni Eropa yang bertugas untuk memantau pelaksanaan Konvensi Eropa 1987 berkaitan dengan Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (disebut Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan).[1] Komite ini menjalankan tugasnya atas dasar kesepakatan konvesi HAM Uni Eropa untuk menguatkan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks pencegahan perbuatan kekerasan ilegal universal.[2]

Landasan komite ini ialah melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.[3] Istilah "penyiksaan" yang dimaksud di sini berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku.[1]

Tidak ada pengecualian atau batasan dari definisi yang disepakati tersebut. Selain penyiksaan, ketentuan itu biasanya berlaku untuk untuk kasus-kasus kekerasan yang parah dan kondisi pengamanan yang buruk.[4] Di dalam konteks ini, negara tidak dapat mendeportasi atau menyerahkan individu yang mungkin mengalami penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat, di negara penerima.[5] Setiap negara anggota harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya.[2] Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. Termasuk, perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.[1]

Berdasarkan hal tersebut, tidak ada satu negara anggota pun yang boleh mengusir, mengembalikan atau mengekstradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat menjadi sasaran penyiksaan.[6] Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi manusia di negara tersebut.[3]

Visualisasi Sejarah dalam Logo

Komite ini didirikan pada 26 Juni 1987 berdasarkan rekomendasi konvensi negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, yang mulai berproses sejak Februari 1989.[7] Penyiksaan adalah kejahatan yang tidak bisa dan tidak akan ditoleransi di dunia. Sejak akhir Perang Dunia II, perjanjian hak asasi manusia internasional (baik global maupun regional) yang melindungi individu dari tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh otoritas negara telah disepakati bersama. Setelah adopsi perjanjian-perjanjian ini, ada seruan untuk memperkuat perlindungan yang diatur dalam perjanjian, yang mengarah pada pembentukan badan penegak hukum yang dirancang untuk menghukum dan mencegah kejahatan penyiksaan. PBB kemudian merekomendasikan Dewan Eropa untuk mengadakan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat, sebuah perjanjian global, diadopsi pada 1984.[6] Di Amerika, Konvensi internal Amerika untuk Pencegahan dan Penghukuman Penyiksaan telah diadopsi pada 1987. Konvensi Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat mulai berlaku pada tahun 1989. Ketiga perjanjian ini, masing-masing berlaku di wilayah tertentu dan memiliki penekanannya sendiri. Khususnya dalam hal menciptakan perlindungan mendasar individu terhadap tindakan penyiksaan.[8]

Komunitas internasional kemudian telah secara umum dan secara resmi menempatkan penyiksaan dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat sebagai salah satu pelanggaran martabat manusia yang paling brutal dan tidak dapat diterima. Pada tahun 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai reaksi terhadap kekerasan yang terjadi pada waktu Perang Dunia Ke-2. Pasal 5 DUHAM menyatakan bahwa “tidak seorangpun boleh disiksa atau diberikan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat”.[9] Semenjak adopsi DUHAM tersebut, pelarangan ini telah berulang kali diperkuat dalam berbagai instrumen-instrumen nasional, regional, dan internasional. Sehubungan dengan adanya instrumen-instrumen ini, larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya menjadi absolut: tidak ada pengecualian atas larangan ini yang diperbolehkan hukum internasional, termasuk dalam hal adanya konflik bersenjata, keadaan darurat umum, atau ancamanancaman kepada keamanan nasional. Selain itu, larangan absolut atas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang ini dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional: dengan kata lain, aturan ini mengikat semua Negara, terlepas dari apakah mereka telah meratifikasi instrumen-instrumen hak asasi manusia atau belum.[10]

Selama era 1970-an, ketika Konvensi PBB Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat sedang dalam proses negosiasi, beberapa organisasi internasional menggabungkan kekuatannya untuk menemukan cara-cara tambahan yang lebih pragmatis untuk membantu mengurangi pelanggaran-pelanggaran tersebut.[11] Pada era tahun 1970an, karena meningkatnya kekhawatiran atas praktek penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya secara terus menerus dan meluas, saat itulah ditentukan bahwa sebuah traktat melawan penyiksaan dan perlakukan sewenang-wenang lainnya dibutuhkan untuk mengkodifikasikan norma-norma yang melarang dan mencegah penyalahgunaan semacam ini, dan untuk menciptakan mekanisme-mekanisme yang dapat menentukan tanggung jawab Negara-negara atas pelanggaran-pelanggaran. Negosiasi-negosiasi oleh PBB atas rancangan Konvensi PBB Melawan Penyiksaan dimulai pada tahun 1978. Setelah itu muncul periode semangat untuk menentang penyiksaan secara internasional. Di Swiss didirikan Komite Pencegahan Penyiksaan Swiss (SCT). Sekarang ini dikenal sebagai Asosiasi untuk Pencegahan Penyiksaan (APT). Ide ini menarik perhatian dari beberapa organisasi nonpemerintahan internasional (NGO), khususnya Amnesty International, dan International Commission of Jurist (ICJ), yang berdampingan dengan SCT membentuk aliansi dengan berbagai Negara, yaitu Swiss, Swedia, dan Kosta Rika.[12]

Meskipun ide untuk menciptakan mekanisme kunjungan internasional dalam konteks PBB ini ditunda, ide tersebut tetap mendapatkan momentumnya di Eropa. Pada tahun 1983, Majelis Parlemen dari Dewan Eropa mengadopsi rancangan teks, yang dipersiapkan oleh SCT dan ICJ, yang membentuk sebuah sistem kunjungan dalam konteks Dewan Eropa. Setelah dilakukan serangkaian negosiasi, Konvensi Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia diadopsi oleh Dewan Eropa pada 26 Juni 1987. Konvensi ini melahirkan Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CPT), yang diberikan mandat untuk mengunjungi tempat-tempat penahanan di Negara anggota Uni Eropa yang telah meratifikasinya.[13]

Pada Januari 1981, Majelis mengadopsi Rekomendasi 909 (1981) tentang Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, yang mengacu pada pekerjaan yang dilakukan dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa dan merekomendasikan agar Komite mengundang Pemerintah Negara-negara Anggota untuk mempercepat adopsi dan implementasi draf Konvensi Menentang Penyiksaan yang sedang disiapkan oleh Komisi PBB untuk Kemanusiaan Hak. Ia juga mengundang Pemerintah Negara-negara anggota yang diwakili di Komisi tersebut untuk melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa Komisi memberikan pertimbangan rinci terhadap rancangan Protokol opsional untuk Konvensi (disajikan oleh Kosta Rika), segera setelah rancangan Konvensi itu sendiri telah diserahkan ke Dewan Ekonomi dan Sosial PBB.[14]

Pada bulan Maret 1981 dua mosi untuk resolusi tentang penyiksaan di negara-negara anggota Uni Eropa diajukan di Dewan Eropa. Mosi-mosi tersebut disampaikan kepada Panitia Urusan Hukum yang memutuskan untuk mempelajarinya bersama-sama. Pertimbangan oleh Komite Urusan Hukum menghasilkan laporan yang dibuat atas nama Komite dan diadopsi pada tanggal 30 Juni 1983. Laporan ini berisi rancangan Konvensi Eropa yang dijabarkan oleh International Komisi Ahli Hukum dan Komite Swiss Menentang Penyiksaan atas permintaan Pelapor. Pada bulan September 1983, pendapat Komite Urusan Politik atas laporan tersebut disampaikan. Perlu dicatat dalam konteks ini bahwa pekerjaan serupa sedang dilakukan dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan bahwa teks Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, yang dirujuk dalam Rekomendasi 909, diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1984 dan selanjutnya dibuka untuk ditandatangani. Mengenai draf Protokol opsional yang diajukan oleh Kosta Rika, ini bertujuan untuk membentuk mekanisme pencegahan yang serupa dengan yang diramalkan dalam draf Konvensi dilampirkan pada dokumen Rekomendasi.[4]

Pertemuan di Jenewa pada April 1988 menimbulkan kesepakatan-kesepakatan yang intensif. Di dalam prosesnya, komite ini melaksanakan pemberantasan praktek penyiksaan di dunia merupakan salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh PBB di tahun-tahun tersebut. Untuk memastikan perlindungan yang memadai untuk semua orang terhadap penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat tersebut PBB telah mengadopsi standar yang berlaku secara universal dengan standar proses kodifikasi menjadi memerangi praktik penyiksaan. Dalam mengembangkan instrumen yang berharga ini, PBB tidak hanya menuliskan secara tematis kumpulan permasalahan penyiksaan tetapi juga mengelompokkan prinsip-prinsip yang pelaksanaan dan ketaatannya akan tidak dikendalikan oleh apapun atau siapapun. Sifat dari komite ini adalah untuk memastikan bahwa Konvensi dipatuhi dan dilaksanakan.[15]

Komite ini merupakan implementasi dari penjagaan nilai-nilai HAM universal.[16] Dasar berdirinya komisi ini ialah resolusi 32/62 pada 8 Desember 1977 yang disetujui oleh Majelis Umum dalam resolusi 34529(XXX) pada 19 Desember 1975. Di dalam konvesi waktu itu, disepakati upaya perlindungan bagi semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Sidang kemudian menyerahkannya pada Komisi Hak Asasi Manusia Dewan Eropa untuk mendeklarasikan perlidungan atas penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam deklarasi.[1] Pada sidangnya yang keempatpuluh, diselesaikan konsep, termasuk ketentuan-ketentuan agar penerapan konvensi itu efektif dengan memperhatikan resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1984/21, 6 Maret 1984, yang berisi keputusan komisi ini untuk menyerahkan naskah konsep konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, yang tercantum dalam lampiran pada laporan Kelompok Kerja yang kemudian diterima Majelis Umum.[3]

Negara yang Menjadi Fokus

Fokus komite ini ialah memastikan keamanan tempat penahanan dengan mengunjungi semua tempat penahanan negara-negara anggota Uni Eropa.[5] Tempat-tempat penahanan, sebagaimana didefinisikan oleh konvensi, adalah semua tempat di mana orang ditahan tanpa persetujuan mereka. Tempat ini mencakup penjara dan lembaga psikiatri tertutup, dan juga pusat penahanan imigrasi, panti jompo dan sejenisnya. Tempat-tempat inilah yang menurut konvesi rentan terjadi penyiksaan. Kunjungan merupakan ketentuan awal yang dilakukan oleh tim kecil anggota komite ini dan didampingi ahli-ahli tambahan untuk memastikan bahwa tidak ada potensi penyiksaan di tempat-tempat tersebut. Setelah kunjungan dilakukan setiap kalinya, komite ini menyusun laporan rekomendasi kepada Uni Eropa tentang temuan di lapangan, kasus-kasus yang ditemukan, situasi-situasi yang berisiko, bahkan kejadian-kejadian penyiksaan. Dewan Eropa kemudian akan menyusun kesimpulan dan menentukan kebijakan yang kemudian diteruskan kepada negara-negara anggotanya. Laporan ini bersifat rahasia dan dipublikasikan hanya apabila pemerintah terkait memintanya. Meskipun demikian, tetap ada ruang agar laporan itu diubah statusnya menjadi publik dan diketahui oleh masyarakat sipil.[3]

Proses tersebut melibatkan negara-negara yang menyetujui kesepakatan-kesepakatan. Misalnya, setiap negara anggota harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya.[17] Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan, dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut serta dalam penyiksaan. Setiap negara anggota harus mengatur agar pelanggaran-pelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan mempertimbangkan sifat kejahatannya. Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua negara terkait yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran, akan menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu harus disesuaikan dengan hukum negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan.[15]

Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal berdasarkan fakta yang ada. Seseorang yang ditahan ini harus dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan negara yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan negara tempat ia biasanya menetap.[18] Apabila suatu negara telah menahan seseorang, negara tersebut harus segera memberitahu negara yang bersangkutan bahwa orang tersebut berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya. Selain itu, komite ini juga mengupayakan sebuah kerangka hukum yang melarang dan mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya sebagai landasan dari strategi pencegahan dimanapun. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Dewan Eropa, penyiksaan seharusnya menjadi tindak pidana berdasarkan hukum pidana domestik dan pelanggaran-pelanggaran atasnya harus diberikan hukuman yang setimpal. Hal ini dikarenakan, setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan aapun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang betindak di dalam kapasitas publik. Hal ini tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.[1]

Penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat dilarang dalam hukum nasional dan oleh beberapa instrumen internasional. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa ada adalah kebutuhan akan langkah-langkah internasional yang lebih luas dan lebih efektif, khususnya untuk memperkuat perlindungan orang-orang yang dirampas kebebasannya. Di dalam Dewan Eropa, sistem pengawasan yang ditetapkan oleh Konvensi untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, 4 November 1950, telah mencapai hasil penting. Dianggap bahwa sistem ini, yang didasarkan pada pengaduan dari individu atau dari Negara yang mengklaim telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, dapat berguna untuk dilengkapi dengan mesin non-yudisial yang bersifat preventif, yang tugasnya adalah memeriksa perlakuan terhadap orang-orang. dirampas kebebasannya dengan pandangan untuk memperkuat, jika perlu, perlindungan orang-orang tersebut dari penyiksaan dan dari perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Untuk alasan-alasan inilah Konvensi ini membentuk suatu Komite yang dapat mengunjungi setiap tempat dalam yurisdiksi Para Pihak di mana orang-orang dirampas kebebasannya oleh otoritas publik.

Moto Organisasi

Komite ini memiliki moto yang berbunyi: “Tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat”.[5] Moto ini termaktub dalam pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Larangan penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya memiliki status khusus dalam perlindungan internasional dari hak asasi manusia. Ini termasuk dalam sejumlah perjanjian internasional dan regional dan juga merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional, yang mengikat semua Negara.[11] Larangan penyiksaan adalah mutlak dan tidak pernah dapat dibenarkan dalam keadaan apapun. Larangan ini tidak dapat dikurangi, yang berarti bahwa suatu negara tidak diperbolehkan untuk sementara membatasi larangan penyiksaan dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat publik lainnya. Lebih lanjut, larangan penyiksaan juga diakui sebagai norma hukum internasional. Dengan kata lain, ia mengesampingkan setiap ketentuan yang tidak konsisten dalam perjanjian lain atau hukum adat. Mengingat pentingnya larangan penyiksaan, kewajiban tradisional negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia dilengkapi dengan kewajiban lebih lanjut untuk mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya. Negara-negara diharuskan mengambil langkah-langkah positif untuk mencegah terjadinya. “Dalam kasus penyiksaan, persyaratan agar Negara segera melembagakan langkah-langkah pelaksanaan nasional merupakan bagian integral dari kewajiban internasional untuk melarang praktik ini.[19]

Moto ini diperkuat dengan kekuatan normatif yang ditunjukkan oleh negara-negara anggota sebagai indikator untuk merepresi penyiksaan di dalam dan di luar hukum, lembaga peradilan pidana, dan pemenjaraan politik. Indikator ini dikonfirmasi oleh Dewan Eropa untuk melindungi hak asasi manusia untuk semua orang terlepas dari perilaku korban dan mendukung penuh martabat manusia mereka dan hak-hak politik dan sipil mereka. Komite ini menyediakan rekomendasi dan laporan yang akan dikirimkan ke pemerintah masing-masing. Laporan ini diterbitkan secara berkala untuk mengantisipasi situasi berisiko.[20]

Setiap negara anggota harus menjamin bahwa pelaporan, pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dicantumkan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pegawai pemerintah, dan orang-orang lain yang mungkin terlibat dalam penahanan, interogasi atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara. Bahkan, harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan.[21]

Diskusi Panel tentang Isu-Isu yang Diperjuangkan

Isu-isu yang menjadi tugas pokok komite pakar ini berlangsung dalam semangat memperkuat perlindungan orang-orang yang dirampas kebebasannya dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi atau perlakuan atau hukuman yang merendahkan, dengan membentuk mekanisme non-yudisial yang bersifat preventif, berdasarkan kunjungan.[11] Secara terperinci terdapat empat isu yang menjadi tugas pokoknya, sebagai berikut:

  1. Penyiksaan dan perlakuan buruk
  2. Kepatuhan dengan hukum hak asasi manusia internasional
  3. Perawatan tahanan dan kondisi kehidupan penjara
  4. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada narapidana

Isu-isu yang diperjuangkan ini sebetulnya merupakan perpanjangan dari definisi di pasal-pasal konvesi bahwa penyiksaan merupakan suatu perlakuan buruk yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah, baik fisik maupun mental. Tidak menyoal siapa yang melakukannya, hukum ditegakan terhadap siapapun baik itu pejabat negara, atau individu swasta yang bertindak dengan persetujuan atau persetujuan pejabat negara. Oleh karena itu, ada kewajiban yang berkaitan dengan domain nasional dan internasional di dalam mengaplikasikan isu-isu tersebut. Di tingkat nasional, negara-negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah untuk mencegah tindakan penyiksaan. Tidak ada keadaan luar biasa, atau perintah dari orang yang berpangkat lebih tinggi, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. Semua tindakan penyiksaan harus menjadi tindak pidana menurut hukum nasional dan harus dikecam dengan hukuman yang mempertimbangkan sifat kejahatan yang berat.[5]

Di tingkat internasional, komite ini membudayakan prinsip yurisdiksi universal. Dengan demikian, suatu negara memiliki yurisdiksi atas orang-orang yang dicurigai melakukan tindakan penyiksaan, terlepas dari kebangsaan mereka dan tempat di mana dugaan kejahatan itu dilakukan. Tindakan penyiksaan harus diklasifikasikan sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang ada di antara negara-negara anggota. Akan tetapi, tidak ada negara anggota yang berhak mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisi seseorang ke negara lain di mana terdapat alasan kuat untuk meyakini bahwa dia akan berada dalam bahaya menjadi sasaran penyiksaan. Jika orang-orang yang dicurigai tidak diekstradisi, mereka harus diadili di negara tempat mereka ditemukan. Orang-orang yang mengeluh telah menjadi korban penyiksaan harus segera diperiksa kasusnya dan tidak memihak, dan mereka harus dilindungi dari segala tindakan pembalasan. Korban penyiksaan harus diberi kompensasi. Pengakuan yang diperoleh di bawah penyiksaan tidak boleh digunakan sebagai bukti di pengadilan. Aparat penegak hukum harus dididik dan diinformasikan mengenai hukuman penyiksaan. Aturan, instruksi, metode, dan praktik yang berkaitan dengan interogasi harus tetap ditinjau secara sistematis.[22]

Berdasarkan itu, instansi-instansi yang berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya. Hal ini mencakup jaminan agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Setiap negara anggota harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah ditetapkan sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat. Dengan begitu, terlihat pencegahan di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.[15]

Negara-Negara Anggota

Keanggotaan

[sunting | sunting sumber]

Anggota-anggota di dalam komite ini menjalankan tugasnya menurut kapasitasnya masing-masing, independen dan tidak mewakili Negara di mana mereka telah dipilih dan mereka berasal dari 47 Negara Anggota Uni Eropa. Anggota komite adalah ahli independen dan tidak memihak dari berbagai bidang, misalnya pengacara, dokter dan profesional penjara atau polisi. Mereka dipilih guna melaksanakan tugas-tugas yang akan ditentukan lebih lanjut. Komite ini terdiri dari sepuluh ahli yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang hak asasi manusia, yang akan bertugas dalam kapasitas pribadinya. Ahli-ahli ini dipilih oleh negara-negara anggota dengan pertimbangan diberikan pada pembagian geografis yang adil, dan pada manfaat dari keikutsertaan mereka yang mempunyai pengalaman hukum.[13]

Anggota Komite akan bertugas dalam kapasitas masing-masing dan dipilih dari antara orang-orang yang bermoral tinggi, yang dikenal karena kompetensinya di bidang hak asasi manusia atau memiliki pengalaman profesional di bidang yang dicakup oleh konvensi. Jika komite menganggap perlu, Komite dapat dibantu oleh para ahli yang memenuhi syarat. Komite tidak menjalankan fungsi yudisial apa pun; itu bukan tugasnya untuk memutuskan bahwa pelanggaran terhadap instrumen internasional yang relevan telah dilakukan.[18] Oleh karena itu, komite juga harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan pandangannya tentang interpretasi instrumen-instrumen tersebut baik secara abstrak maupun dalam kaitannya dengan fakta-fakta konkret. Ketika memutuskan apakah ada kebutuhan untuk membuat rekomendasi, panitia tentu harus menilai fakta-fakta yang ditemukan selama kunjungannya. Karena komite tidak kompeten untuk mendengarkan saksi sesuai dengan prinsip-prinsip umum prosedur peradilan, itu tidak akan memiliki dasar yang cukup untuk membuat rekomendasi jika faktanya tidak jelas dan ada kebutuhan untuk penyelidikan lebih lanjut. Dalam kasus seperti itu, komite kemudian dapat memberi tahu negara yang bersangkutan dan menyarankan agar penyelidikan lebih lanjut dilakukan di tingkat nasional dan meminta untuk terus diberitahu tentang hasil penyelidikan tersebut. Dalam penerapan konvensi, komite dan Negara yang bersangkutan adalah berkewajiban untuk bekerja sama. Tujuan komite bukan untuk mengutuk Negara, tetapi, dalam semangat kerjasama dan melalui nasihat, untuk mencari perbaikan, jika perlu, dalam perlindungan orang yang dirampas kebebasannya.[17]

Para anggota Komite dipilih melalui pemungutan suara secara rahasia berdasarkan daftar orang-orang yang dicalonkan oleh negara-negara anggota. Setiap negara anggota dapat mencalonkan satu orang warganegaranya sendiri. Negara-negara anggota mempertimbangkan manfaat pencalonan orang-orang yang juga menjadi anggota Komite Hak asasi Manusia yang didirikan menurut Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang bersedia bertugas dalam Komite Menentang Penyiksaan. Pemilihan para anggota Komite dilakukan pada sidang dua tahunan antar-negara anggota yang diadakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam sidang itu, dua pertiga negara-negara anggota yang hadir merupakan kuorum; orang-orang yang terpilih sebagai anggota komite adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas mutlak dari suara para wakil negara-negara Pihak yang hadir dan memberikan suara.[22]

Pemilihan pertama harus diadakan paling lambat enam bulan setelah tanggal diberlakukannya Konvensi ini. Sekurang-kurangnya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada negara-negara anggota yang meminta agar dalam waktu tiga bulan mereka sudah mengajukan calon-calonnya. Sekretaris Jenderal mempersiapkan suatu daftar menurut abjad semua calon beserta negara-negara anggota yang mencalonkannya dan kemudian mengajukannya kepada negara-negara anggota. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Jika dicalonkan kembali, mereka dapat dipilih lagi. Akan tetapi, masa jabatan dari lima orang di antara para anggota yang dipilih pada pemilihan pertama berakhir pada akhir tahun kedua; segera setelah pemilihan pertama nama-nama dari lima orang anggota ini akan dipilih lewat undian oleh Ketua Sidang. Kalau seorang anggota Komite meninggal atau mengundurkan diri atau karena suatu alasan tidak dapat lagi menjalankan tugas-tugasnya dalam Komite, negara anggota yang mencalonkannya harus menunjuk seorang ahli lain di antara warganegaranya untuk bertugas selama sisa masa jabatannya, setelah ada persetujuan mayoritas dari negara-negara yang bersangkutan. Persetujuan dianggap telah diberikan, kecuali kalau setengah atau lebih negara-negara anggota memberi jawaban negatif dalam waktu enam minggu setelah diberitahu oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penunjukan orang yang diusulkan. Komite memilih-pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun dan dapat dipilih kembali. Komite menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatan-kegiatannya berdasarkan konvensi ini kepada negara-negara anggota dan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.[22]

Struktur Organisasi

Struktur Organisasi

[sunting | sunting sumber]

Di dalam menjalankan fungsi organisatorisnya, komite ini memiliki struktur organisasi yang menjalankan tugas kepemimpinannya berdasarkan rekomendasi Dewan Eropa. Tugas ini dilaksanakan secara pribadi tanpa dipengaruhi sedikit pun oleh negara-negara yang mengutus para pimpinannya.[13]

Pimpinan atau orang yang memiliki posisi atau tanggung jawab utama di komite ini adalah independen yang terdiri dari 1 (satu) Ketua, dan 2 (dua) Wakil Ketua serta masing-masing merangkap Anggota.[13]

Ketua komite ini adalah pimpinan yang juga merangkap sebagai anggota yang mengomandoi segala proses organisatoris komite ini. Saat ini dijabat oleh Alan Mitchell dari Inggris.[13]

Wakil Ketua

[sunting | sunting sumber]

Wakil ketua komite ini merupakan pimpinan yang juga merangkap sebagai anggota dan bekerja di bawah naungan ketua komite. Saat ini dijabat oleh Hans Wolff dari Swiss dan Therese Maria Rytter dari Denmark.[13]

Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komite ini dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Adapun daftar nama-nama anggota dan negara asalnya: adalah sebagai berikut:[22]

Daftar Nama Anggota dan Negara Asal
Nama Negara Asal
Djordje Alempijevic Serbia
Régis Bergonzi Monako
Dagmar Breznoščáková Slowakia
Marius Caruana Malta
Vânia Costa Ramos Portugal
Juan Carlos Da Silva Ochoa Spanyol
Vincent Delbos Prancis
Vanessa Durich-Moulet Andorra
Gergely Fliegauf Hungaria
Mykola Gnatovskyy Ukraina
Per Granström Swedia
Nico Hirsch Luksemburg
Georg Høyer Norwegia
Gordan Kalajdjiev Makedonia Utara
Ifigeneia Kamtsidou Yunani
Mark Kelly Republik Irlandia
Julia Kozma Austria
Marie Lukasová Ceko
Philippe Mary Belgia
Alexander Minchev Bulgaria
Ömer Müslümanoğlu Turki
Vitalie Nagacevschi Moldova
Slava Novak Slovenia
Olga Noyanova Rusia
Judith Öhri Liechtenstein
Solvita Olsena Latvia
Helena Papa Albania
Kristina Pardalos San Marino
Jari Pirjola Finlandia
Ceyhun Qaracayev Azerbaijan
Răzvan Horaţiu Radu Rumania
Vytautas Raškauskas Lithuania
Davor Strinović Kroasia
Arman Tatoyan Armenia
Aleksandar Tomcuk Montenegro
Elsa Bára Traustadóttir Islandia
Tinatin Uplisashvili Georgia
Marika Väli Estonia
Chila Van Der Bas Belanda
Gunda Wössner Jerman
Elisabetta Zamparutti Italia
Naskah Resolusi Konvesi

Naskah Resolusi Konvensi

[sunting | sunting sumber]

Komisi ini memiliki nota kesepakatan berupa naskah yang muncul dari rekomendasi Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang disetujui Majelis Umum dalam resolusi 34529 (XXX) pada l 9 Desember 1975. Dengan mengingat, menimbang dan memperhatikan ketetapan-ketetapan Resolusi 32/62 pada 8 Desember 1977, resolusi 38/119, 16 Desember 1983, resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1984/21, 6 Maret 1984, hukum internasional dan nasional, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, kewajiban Negara-Negara berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama Pasal 55, Pasal 5 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Naskah ini dibagi ke dalam 3 bab yang berisi 33 pasal.[14]

Resolusi No. 39/46 yang disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984 tersebut menjelaskan bahwa Majelis Umum, Mengingat Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, yang disetujui Majelis Umum dalam resolusi 34529 (XXX) pada 19 Desember 1975, mengingat pula Resolusi 32/62 pada 8 Desember 1977 yang berisi permintaan agar Komisi Hak Asasi Manusia membuat konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi. Lebih lanjut, mengingat bahwa, dalam resolusi 38/119, 16 Desember 1983, Komisi Hak Asasi Manusia diminta pada sidangnya yang keempatpuluh mengutamakan penyelesaian konsep konvensi menentang penyiksaan supaya konsep tersebut, termasuk ketentuan-ketentuan agar penerapan konvensi itu efektif, diserahkan kepada kepada Majelis Umum pada sidang ke-39. Secara konkret, memperhatikan dengan seksama resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1984/21, 6 Maret 1984, yang berisi keputusan Komisi untuk menyerahkan naskah konsep konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, yang tercantum dalam lampiran pada laporan Kelompok Kerja agar dipertimbangkan Majelis Umum. Dari perhatian itu muncul keinginan untuk melakukan penerapan yang lebih efektif larangan-larangan yang masih ada berdasarkan hukum internasional dan nasional terhadap praktek penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, menyatakan penghormatan atas hasil kerja yang dicapai Komisi Hak Asasi Manusia dalam mempersiapkan naskah konsep konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; menyetujui dan membuka Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang termuat dalam lampiran resolusi ini agar ditandatangani, diratifikasi dan disetujui, meminta semua pemerintah agar mempertimbangkan prioritas penandatanganan dan ratifikasi konvensi.[2]

Negara-negara pihak konvensi ini kemudian mengingat bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas hak yang sama dan tidak dapat dicabut bagi semua umat manusia merupakan landasan kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia. Lebih lanjut, mengakui bahwa hak tersebut berasal dari martabat manusia secara pribadi, mengingat kewajiban Negara-Negara berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama Pasal 55, adalah memajukan penghormatan dan ketaatan universal terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia, dengan menghormati Pasal 5 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang keduanya menyatakan bahwa tak seorangpun boleh menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, dengan menghormati pula Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975, berkeinginan untuk menjadikan perjuangan lebih efektif melawan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia.[9]

Ketentuan naskah resolusi konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran. Dengan diterbitkannya naskah resolusi konvesi ini, maka akan terkonsentrasi semangat untuk melakukan penerapan yang lebih efektif atas larangan-larangan yang ada berdasarkan hukum internasional dan nasional terhadap praktek penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia sehingga menjadikan perjuangan lebih efektif dan efisien melawan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia.[1]

Target di Masa Depan

Target Pencapaian di Masa Depan

[sunting | sunting sumber]

Komite ini memiliki target pencapaian dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Target jangka panjangnya ialah mewujudkan dunia yang bebas penyiksaan. Target jangka panjang tersebut dimulai dari upaya-upaya tahunan misalnya yang sudah terjadi ialah Dewan Eropa memperkuat kebijakan Uni Eropa terhadap negara ketiga tentang penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya. Target ini diadopsi berdasarkan pada Pedoman revisi kebijakan Uni Eropa terhadap negara ketiga agar Dewan Eropa selaku wadah konsolodiasi, memiliki perhatian dan keprihatinan kepada meluasnya penggunaan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya di seluruh dunia dan memberi ketagasan bahwa penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat adalah mutlak dalam hukum internasional. Bahkan, secara politis harus diabadikan dalam kerangka hukum dan politik Uni Eropa sehingga segala upaya untuk membatasi larangan mutlak ini dapat dihilangkan. Oleh sebab itu, Dewan Eropa dan Negara Anggota ke depannya perlu menegaskan kembali komitmen penuh mereka untuk memerangi penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya di seluruh dunia, sejalan dengan perjanjian dan standar internasional dan regional yang relevan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang administrasi peradilan dan pelaksanaan konflik bersenjata. Dengan demikian, visi untuk terus menentang keras dan mengutuk penggunaan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya oleh aktor negara dan non-negara, di mana pun itu terjadi dan apa pun bentuknya, dengan menggunakan semua alat yang tersedia dapat dihentikan.[11]

Seluruh target pencapaian ini memiliki relevansi yang komprehensif dengan ketetapan konvesi sebagaimana komite ini didirikan dengan mencakup unsur-unsur penting seperti larangan, pencegahan, akuntabilitas dan ganti rugi bagi para korban tanpa melepaskan pentingnya perlindungan prosedural, khususnya pada jam-jam pertama penahanan, untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Dari naskah resolusi konvesi, semua Negara untuk sepenuhnya mematuhi kewajiban hak asasi manusia mereka di bawah hukum internasional termasuk dalam kontra-terorisme, migrasi, perdagangan manusia dan pengaturan manajemen krisis lainnya, dengan perhatian khusus pada mereka yang berada dalam situasi yang paling rentan. Termasuk dalam ranah kebijakan. Para politisi di setiap negara dan dengan semua pemangku kepentingan utama akan secara sadar terlibat mengambil tindakan bersama sangat penting untuk pemberantasan penyiksaan sehingga kerja sama lebih lanjut dengan mekanisme PBB dan badan-badan regional, serta dengan aktor terkait lainnya seperti Pengadilan Kriminal Internasional diperkuat.[22]

Secara birokrasi, komite ini bersama Dewan Eropa diharapkan mampu sama-sama mengakui peran kunci dari Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia dan Mekanisme Pencegahan Nasional independen serta organisasi masyarakat sipil dan pembela hak asasi manusia dalam memerangi penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Di dalam jangka waktu ke depan akan dijalin kerjasama dengan Aliansi Global untuk Perdagangan Bebas Penyiksaan guna membangun sebuah upaya lintas kawasan yang mengumpulkan lebih dari 60 negara yang berkomitmen untuk mengakhiri perdagangan barang yang digunakan untuk penyiksaan dan hukuman mati secara global. Hal ini sesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB tentang Perdagangan Bebas Penyiksaan dan sangat mendukung upaya untuk menetapkan standar internasional umum di bidang ini dan rencana untuk pengesahan revisi Protokol Istanbul tentang Investigasi dan Dokumentasi yang Efektif tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat lainnya. Pedoman yang direvisi memberikan panduan praktis bagi lembaga-lembaga Uni Eropa dan Negara-negara Anggota, termasuk tentang berbagai alat yang dapat digunakan dalam keterlibatan mereka dengan negara-negara ketiga dan dalam forum hak asasi manusia multilateral untuk mendukung upaya berkelanjutan untuk memberantas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. di seluruh dunia.[5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f Cassese, Antonio (27 Februari 2017). "A New Approach to Human Rights: The European Convention for the Prevention of Torture". American Journal of International Law. 83 (1): 128–153. doi:10.2307/2202800. 
  2. ^ a b c Bicknell,, Christine; Evans, Malcolm; Morgan, Rod (2018). Preventing Torture in Europe. Strasbourg: Council of Europe. hlm. 7–11. ISBN 9789287187482. 
  3. ^ a b c d Heinz, Wolfgang (2018). Fickenscher, R, ed. The European Committee for the Prevention of Torture and Its Work with the Police. In The Police and International Human Rights Law. Cham: Springer. hlm. 305–319. ISBN 9783319713380. 
  4. ^ a b Evans, Malcolm; Morgan, Rod (1997). "The European Convention for the Prevention of Torture: 1992–1997". International & Comparative Law Quarterly. 46 (3): 663–675. doi:10.1017/S002058930006084X. 
  5. ^ a b c d e Kicker, Renate (2012). de Beco, Gauthier, ed. The European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (the CPT). In Human rights monitoring mechanisms of the Council of Europe. London: Routledge. hlm. 43–70. ISBN 9781136667930. 
  6. ^ a b Morgan, Rod (2002). Ruggiero, Vincenzo, ed. Another angle on European harmonisation: the case of the European Committee for the Prevention of Torture. In The New European Criminology. London: Routledge. hlm. 174–197. ISBN 9780203030486. 
  7. ^ Morgan, Rod; Evans, Malcolm (2002). Combating torture in Europe: the work and standards of the European Committee for the Prevention of Torture (CPT). Strasbourg: Council of Europe. hlm. 1–300. ISBN 9287146144. 
  8. ^ Morgan, Rod; Evans, Malcolm, ed. (1999). Protecting Prisoners: the Standards of the European Committee for the Prevention of Torture in Context. Oxford: Oxford University Press. hlm. 1–11. ISBN 9780198298212. 
  9. ^ a b Document, General Report (1984). "Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, UN Doc. GA, A/Res/39/46" (PDF). Council of Europe. Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  10. ^ HHR, APT (2010). Optional Protocol to the UN Convention against Torture Implementation Manual (PDF). Geneva: Imprimerie Courand et associés. hlm. 12–16. ISBN 978-2-940337-39-2. 
  11. ^ a b c d Nigel, Rodley (2009). Preventing Torture in the 21st Century: Monitoring in Europe Two Decades On, Monitoring Globally Two Years On Part I (PDF). Colchester: University of Essex. hlm. 15–21. ISBN 9781874635451. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-01-26. Diakses tanggal 2021-08-03. 
  12. ^ Document, General Report (2008). "Preventing Torture" (PDF). Council of Europe. Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  13. ^ a b c d e f Europe, Council of (2009). "23706581":%5b0%5d} "CPT Members". European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CPT). Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  14. ^ a b Commissioner, Office of the Higher (1984). "Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment". United Nations Human Rights Office of the Higher Commissioner. Diakses tanggal 31 Juli 2021. 
  15. ^ a b c Drenkhahn, Kristin (2014). Drenkhahn, Kirstin; Dudeck, Manuela, ed. Activities of the European Court of Human Rights and the European Committee for the Prevention of Torture. In Long-Term Imprisonment and Human Rights. London: Routledge. hlm. 45–50. ISBN 1317684443. 
  16. ^ Nasution, Adnan (1997). Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 35–40. ISBN 979-46-124-05. 
  17. ^ a b Danisi, Carmelo (2009). "Preventing torture and controlling irregular immigration: the role of the European Committee for the prevention of torture and its activities in Italy" (PDF). Essex Human Rights Review. 6 (1): 105–109. 
  18. ^ a b Foster, Steve (2001). "Protecting Prisoners: The Standards of the European Committee for the Prevention of Torture in Context". The British Journal of Criminology. 41 (1): 208–210. doi:10.1093/bjc/41.1.208. 
  19. ^ Bellamy, Alex (2006). "No pain, no gain? Torture and ethics in the war on terror". International Affairs. 82 (1): 121–125. doi:10.1111/j.1468-2346.2006.00518.x. 
  20. ^ Ashtalkoska, Monika (2012). European Committee for the Prevention of Torture-cases in Macedonia. Chisinau: Lambert Academic Publishing. hlm. 5–10. ISBN 978-3-659-29460-0. 
  21. ^ Murdoch, Jim (2006). "The impact of the Council of Europe's" Torture Committee" and the evolution of standard-setting in relation to places of detention". European Human Rights Law Review. 2 (1): 159–162. 
  22. ^ a b c d e CPT, CPT (2009). 20 Years of Combating Torture: 19th General Report of the European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (CPT). Strasbourg: Council of Europe Publishing. hlm. 54–55. ISBN 978-92-871-6730-9. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]